Photobucket

Minggu, 28 Agustus 2011

PUISI PEMICU KERUNTUHAN MORAL?

Serangan terhadap puisi pernah dilakukan oleh penulis Inggris, Stephen Gosson (1554-1624), yang pada tahun 1579 pernah menerbitkan karya bertajuk The Schoole of Abuse, Conteining a pleasaunt invective against Poets, Pipers, Plaiers, Jesters, and suchlike Catterpillers of a Commonwealth. Dalam tulisan itu, Gosson mengecam teater yang menjadi tempat pembacaan puisi dan karya sebagai pelacuran terselubung. Dalam karya tersebut juga dikecam berbagai melodrama atau kisah tragedi serta karya komedi vulgar yang memicu kebrandalan dan immoralitas.

Berdasarkan A History of Literary Criticism oleh Harry Blamires (1991), pembelaan terhadap karya puisi pertama kali dilakukan oleh penulis drama Inggris, Thomas Lodge (1558-1625). Menurut Lodge dalam karyanya Defence of Poetry (1579), adalah salah merujuk puisi sebagai pemicu keruntuhan moral. Meski Lodge mengakui bahwa tidak semua puisi adalah sakral ("holy"), tetapi ia memastikan bahwa puisi adalah sebuah bentuk anugerah dari langit ("heavenly gift").

Bentuk sanggahan yang lebih efektif diluncurkan oleh penyair Inggris, Sir Philip Sydney (1554-1586). Dalam karya bertajuk Apologie for Poetrie (ditulis pada 1579, tetapi baru diterbitkan pada 1595), menyebutkan bahwa puisi dan para penyair telah mendapat banyak pujian sepanjang sejarah. Filsuf Plato dan sejarawan Herodotus menggunakan teknik imajinatif puisi sebagai "penghubung" mereka dengan telinga publik, sedangkan bangsa Romawi menyebut penyair sebagai nabi ("prophet") dan bangsa Yunani menyebut penyair sebagai pencipta ("maker").

Selain itu, masih menurut Sydney, puisi juga merupakan bentuk ilmu yang tidak terikat dengan hukum-hukum alam tetapi dapat sebebas mungkin menggunakan imajinasi yang bisa melampaui apa-apa yang bisa diterima oleh akal sehat. Ia juga, mengacu kepada Aristoteles, menyebut puisi sebagai tehnik imitasi yang dapat digunakan untuk mengajar dan memberikan pencerahan.

Sydney juga membandingkan puisi dengan para filsuf dan sejarawan. Para filsuf dinilai kerap mengajarkan sesuatu ajaran nilai tanpa contoh yang kongkrit atau nyata, sedangkan sejarawan dinilai kerap mengajarkan contoh yang kongkrit tanpa adanya suatu ajaran nilai yang bisa diambil. Sedangkan dengan puisi, kedua kelemahan tersebut dapat diisi satu sama lain sehingga puisi dinilai lebih efektif dalam mengajarkan nilai-nilai kebajikan daripada filsafat dan ilmu sejarah.

Sedangkan terkait dengan tudingan puisi sebagai sumber immoralitas, Sydney menyebutkan bahwa tidak ada bukti bahwa puisi mengkorupsi manusia, tetapi manusianya sendirilah yang telah mengorupsi puisi. Semua ilmu, termasuk puisi, dapat digunakan baik untuk tujuan kebaikan maupun kejahatan. Sydney mencontohkan bahwa sebuah pedang bisa digunakan sebagai alat pembunuhan atau sebagai alat perjuangan mempertahankan negara.

Bagi diriku pribadi, puisi juga dapat memiliki suatu manfaat sebagai sebuah bentuk terapi untuk melepaskan berbagai emosi yang tersimpan di dalam diri. Emosi yang tersimpan di dalam diri manusia selalu mencari sarana untuk keluar dari dalam raga kita dan terkadang hasil yang ditimbulkan dapat merusak atau tidak kita sangka-sangka. Puisi, menurut aku, adalah salah satu bentuk penyaluran dari berbagai sumbatan emosi tersebut, sehingga tenaga yang terkekang di dalam jiwa dapat dilepaskan dalam bentuk yang lebih produktif seperti membuat puisi ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar