Photobucket

Selasa, 30 Agustus 2011

MENGAPA AKU (AKHIRNYA) MEMILIH HISAB

Sebenarnya aku tidak ingin menulis ini. Namun karena aku gemas karena di Indonesia melihat banyaknya orang yang menghujat penggunaan hisab dengan pendekatan hakiki wujudul hilal yang digunakan oleh ormas Muhammadiyah. Padahal, bila dilihat dari hasil putusan Muhammadiyah yang memutuskan bahwa Idul Fitri 1432 Hijriyah jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011, hal itu ternyata sama dengan sebagian (besar) negara-negara lainnya seperti Mesir, Arab Saudi, Libanon, Uni Emirat Arab, Uni Eropa, hingga Malaysia dan Singapura (negara-negara tetangga kita sendiri).

Aku bukan anggota Muhammadiyah. Sebelum menuliskan tulisan ini, aku selalu mengikuti puasa dan Idul Fitri serta Idul Adha sesuai dengan ketetapan dari pemerintah. Tapi setelah melihat-lihat penjelasan yang ditawarkan oleh mereka yang lebih menyetujui hisab, aku merasa bahwa mereka mengandung lebih banyak kebenaran dari para penentangnya yang beberapa hanya bisa menghujat atau menyebut metode yang digunakan Muhammadiyah sebagai metode "usang" (antara lain oleh seorang pakar astronomi ITB yang juga dihadirkan dalam sidang itsbat di Kementerian Agama, 29 Agustus 2011).

Aku tahu dengan hadis yang menyebutkan bahwa "Dari Abu Hurairah r.a., katanya Nabi SAW bersabda: "Puasalah bila kamu melihatnya (bulan), dan berbukalah bila kamu melihatnya. Jika bulan itu tertutup atasmu, maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban tiga puluh hari." (Bukhari). Selain itu, terdapat pula hadis "dari Ibnu Umar r.a., dari Nabi SAW, bahwasanya beliau bersabda: "Kita ummat yang ummi, tiada pandai menulis dan berhitung. Sebulan itu sebegini dan sebegini. Maksudnya, kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30 hari" (Bukhari). Dengan demikian, penggunaan melihat bulan itu juga dapat dilihat berdasarkan konteks pada zaman Nabi SAW dahulu masih terdapat banyak orang yang tidak pandai menulis atau berhitung sehingga wajar bila penggunaan hisab masih belum dapat dilakukan secara meluas pada saat itu.

Benarkah bulan memiliki semacam ritmenya sendiri sehingga sebenarnya bisa dihisab atau ditentukan terlebih dahulu sebelumnya? Jawabannya ya. Dalam Al Qur'an Surah Yunus ayat 5 atau QS 10:5 diterjemahkan "Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui". Sedangkan Surah Ar Rahman ayat 1 - 5 atau Q.S. 55 : 1 - 5 diterjemahkan "(Tuhan) Yang Maha Pemurah (1) Yang telah mengajarkan Al Qur'an (2) Dia menciptakan manusia (3) Mengajarnya pandai berbicara (4) Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan (5).

Penanggalan Islam juga menggunakan sistem lunar atau bulan yang berbeda dengan penanggalan Masehi yang menggunakan sistem solar atau matahari. Karenanya, wajar saja bila perhitungan umat Islam untuk menentukan berbagai hari raya seperti Idul Fitri juga menggunakan sistem hisab. Dalam sejumlah hadis juga disebut bahwa "Dari Abdullah r.a., katanya Rasulullah SAW pernah bersabda perihal Ramadhan. Sabda beliau: "Janganlah kamu puasa sehingga kamu melihat bulan, dan janganlah kamu berbuka sehingga kamu melihatnya. Maka, jika bulan itu tertutup di atasmu, kira-kirakanlah bilangannya" (Bukhari). Tentu saja sistem perkiraan bilangan bulan yang akurat, apalagi pada masa kini yang telah membuka banyak kemajuan baik dalam teknologi maupun dalam ilmu falak atau astronomi, dapat dilakukan dengan menggunakan metode hisab.

Sementara berdasarkan penjelasan yang aku ambil dari http://www.muhammadiyah.or.id, aku mendapat penjelasan bahwa dasar penetapan Idul Fitri jatuh pada Selasa (30/8) adalah berdasarkan hisab hakiki wujudul hilal dengan kriteria (1) Bulan di langit untuk bulan Ramadan telah genap memutari Bumi satu putaran pada jam 10:05 Senin hari ini, (2) genapnya satu putaran itu tercapai sebelum Matahari hari ini terbenam, dan (3) saat Matahari hari ini nanti sore terbenam, Bulan positif di atas ufuk.  Jadi dengan demikian, kriteria memasuki bulan baru telah terpenuhi. Kriteria ini tidak berdasarkan konsep penampakan. Kriteria ini adalah kriteria memasuki bulan baru tanpa dikaitkan dengan terlihatnya hilal, melainkan berdasarkan hisab terhadap posisi geometris benda langit tertentu. Kriteria ini menetapkan masuknya bulan baru dengan terpenuhinya parameter astronomis tertentu, yaitu tiga parameter yang disebutkan tadi.

Sedangkan alasan Muhammadiyah menggunakan hisab adalah karena lebih memberikan kepastian dan bisa menghitung tanggal jauh hari ke depan. Selain itu, hisab dinilai mempunyai peluang dapat menyatukan penanggalan, yang tidak mungkin dilakukan dengan rukyat. Dalam Konferensi Pakar II yang diselenggarakan oleh ISESCO (Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization) melalui Deklarasi Dakar tahun 2008 telah ditegaskan bahwa mustahil menyatukan sistem penanggalan umat Islam kecuali dengan menggunakan hisab.

Dalam penjelasan dari situs Muhammadiyah juga disebutkan bahwa dari hadis-hadis Nabi SAW yang antara lain bersumber dari Abu Hurairah dan Aisyah, ternyata Nabi SAW lebih banyak puasa Ramadan 29 hari daripada puasa 30 hari. Menurut penyelidikan Ibnu Hajar, dari 9 kali Ramadan yang dialami Nabi saw, hanya dua kali saja beliau puasa Ramadan 30 hari. Selebihnya, yakni tujuh kali, beliau puasa Ramadan 29 hari. Dalam akhir penjelasan, ormas Muhammadiyah juga menyebutkan bahwa "sementara kita masih belum mampu menyatukan penanggalan hijriah, maka bilamana terjadi perbedaan kita hendaknya mempunyai toleransi yang besar satu terhadap yang lain dan saling menghormati. Sembari kita terus berusaha mengupayakan penyatuan itu".

Wallahu a'lam bishawab (Allah yang Maha Mengetahui akan kebenarannya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar