Photobucket

Kamis, 18 Agustus 2011

KAPAN GDP/PDB HANYA AKAN MENJADI MITOS?

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, posisi total utang Indonesia per Juni 2011 mencapai 200,5 miliar dolar AS atau Rp1.723,9 triliun. Jumlah utang itu menunjukkan peningkatan dari akhir 2010 yaitu 186,5 miliar dolar AS. Namun, pemerintah dan mereka yang sejalan dengan idiom "utang itu baik" akan menilai bahwa angka tersebut masih belum membahayakan karena rasio utang terhadap GDP (Gross Domestic Product) atau PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia "hanya" 26 persen. Angka ini memang terlihat aman dibanding dengan rasio utang terhadap GDP di sejumlah negara lain yang sedang terkena krisis utang seperti Yunani (147,3 persen), Portugal (103,1 persen), Irlandia (102,4 persen), dan AS (100 persen).

Namun, sebenarnya telah banyak orang yang menyangsikan pendekatan yang berlebihan terhadap GDP karena angka itu dinilai hanya melihat manusia (dan sisi kemanusiaan secara total) hanya berdasarkan produk ekonomi tetapi tidak memperhatikan manusia sebagai manusia (GDP tidak mengukur tingkat kesehatan, kebahagiaan, dan hal-hal lain yang sangat esensial bagi kehidupan manusia..). Salah satu artikel yang menarik dibaca tentang hal itu adalah "The Rise and Fall of the GDP" yang ditulis oleh Jon Gertner dari Article Alert Information Resource Center Kedutaan Besar AS di Indonesia yang diterbitkan pada bulan Juli 2010.

Dalam artikel tersebut, mantan Chancellor University of Northern British Columbia Alex Michalos dikutip mengatakan, "The economists messed everything up...The main barrier to getting progress has been the statistical agencies around the world are run by economists and statisticians... And they are not people who comfortable with human beings.". Bagi Michalos, penempatan GDP dalam posisi yang "sangat mulia" seperti sekarang ini adalah sebuah kesalahan karena hal itu tidak memperhitungkan berbagai aspek kehidupan manusia secara keseluruhan dan hanya memposisikan jumlah produk dan jasa "seakan-akan" itulah hal yang paling penting bagi keberlangsungan suatu negara.

Dalam "The Rise and Fall of the GDP", Jon Gertner juga mengupas dengan baik tentang dua jenis orang, yaitu "High-GDP Man" dan "Low-GDP Man". Tipe High GDP diidentikkan dengan mereka yang bekerja keras tetapi juga menghambur-hamburkan uang dengan boros juga (Tahukah anda, bila kita berlebih-lebihan dalam membeli barang itu dinilai positif bagi perekonomian karena akan meningkatkan tingkat GDP, jadi jangan berharap kalimat 'hemat itu baik' akan diterima begitu saja oleh kaum pemuja GDP). Tipe High GDP juga lebih suka membeli barang-barang terbaru (hp keluaran terbaru, televisi terbaru,dll). Bapak dan Ibu High GDP tidak punya waktu untuk mengurus rumah tangga, sehingga mereka biasanya lebih memilih mempekerjakan pembantu rumah tangga atau memasukkan orang tua mereka ke panti jompo..

Di lain pihak, Tipe Low GDP adalah kebalikannya. Mereka lebih suka berhemat meski hal itu dinilai tidak akan membantu meningkatkan jumlah GDP. Dalam perbandingan, Gertner mengemukakan bahwa High GDP ingin membeli buku yang ia inginkan, Low GDP lebih suka mencarinya di perpustakaan; High GDP ingin membentuk ototnya dengan mengikuti gym, Low GDP melakukannya cukup dengan joging atau berlari pagi di lingkungan rumah tinggalnya. Berdasarkan perhitungan ekonom pemuja GDP, mereka pasti akan mengatakan bahwa High GDP lebih "positif" bagi perekonomian dibanding dengan Low GDP yang akan dinilai lebih "negatif".

Memang rasanya tidak adil atau terlalu menggeneralisasi bila membagi manusia ke dalam dua tipe tersebut. Namun, yang ingin disorot di sini adalah apa yang "bagus" untuk peningkatan GDP sebenarnya hanyalah memperhitungkan sisi materialisme semata-mata, yaitu berapa banyak jumlah produk dan jasa (berbayar) yang digunakan oleh seseorang. Bagaimana dengan tingkat kebahagiaan, kesehatan, dan indikator sosial lainnya yang lebih penting dalam melihat manusia seutuhnya (Maaf saja, menurut para pemuja GDP, hal itu tidak penting dalam perhitungan GDP).

Banyak pengeritik GDP yang telah memulai berbagai kategori perhitungan baru seperti Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh PBB. Bila dibandingkan antara perhitungan GDP berdasarkan PPP (Purchasing Power Parity atau Keseimbangan Kemampuan Berbelanja) dan HDI, maka memang dapat diperoleh dua perhitungan yang berbeda. Misalnya 10 negara terbesar GDP (PPP) berdasarkan Bank Dunia (2010) adalah AS, China, Jepang, India, Jerman, Rusia, Inggris, Prancis, Brazil, dan Italia. Sedangkan 10 negara terbesar HDI berdasarkan PBB (2010) adalah Norwegia, Australia, Selandia Baru, AS, Irlandia, Liechtenstein, Belanda, Kanada, Swedia, dan Jerman.

Bagaimana dengan Indonesia? dalam daftar GDP (PPP) pada 2010, Indonesia ada di urutan ke-16, sedangkan dalam daftar HDI pada 2010, Indonesia ditempatkan di posisi ke-111 (ranking HDI 101-100 adalah Botswana, Moldova, Mongolia, Mesir, Uzbekistan, Mikronesia, Guyana, Namibia, Honduras, dan Maladewa). Namun, para pemuja GDP sekarang memang masih mencengkram kuat di dunia perekonomian (yang masih menganggap "utang itu baik") sehingga rasanya masih jauh bila aku bertanya kapan GDP hanya akan menjadi mitos belaka? Tetapi sejujurnya, aku sangat mendambakan masa itu segera datang :)

1 komentar: