Photobucket

Jumat, 12 Agustus 2011

"FIGHT CLUB", KEKERASAN DALAM SEBUAH KEINDAHAN

Puisi kerap diartikan sebagai sebuah bentuk seni kesusasteraan dengan cara menggubah bahasa (atau kata-kata) menjadi sebuah makna yang estetis (kata lain dari 'indah' atau 'keindahan') dan menggugah. Begitu pula dengan film "Fight Club" (1999), yang menurut aku pada intinya adalah sebuah film tentang kekerasan (sesuai dengan judulnya), tetapi disuguhkan kepada para pemirsa dalam balutan sebuah keindahan..

Film ini memang sudah lama sekali beredar, sudah lebih dari satu dekade yang lalu. Namun setiap menonton film ini aku selalu tetap tergugah karena banyaknya nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam film itu. Bagi yang belum pernah menonton film kontroversial ini, akan lebih baik bila saya ceritakan sedikit tentang narasi film ini.

"Fight Club" mengisahkan seorang tokoh (yang namanya tidak pernah disebutkan sepanjang film, dimainkan oleh Edward Norton) yang amnesia dan telah lama bekerja di sebuah perusahaan swasta yang terus-menerus menekannya (sound familiar? :) Kehidupannya tampak semakin menderita sejak ruang apartemennya tempatnya tinggal meledak sehingga dia menelepon Tyler Durden (Brad Pitt), seorang kenalan yang bekerja sebagai penjual sabun keliling yang ditemuinya di dalam pesawat.

Dia (sang tokoh utama) akhirnya menginap di rumah Tyler. Pada suatu malam mereka berkelahi di dalam bar, sebuah perkelahian jantan yang menarik banyak pengikut sehingga dibuatlah semacam perkumpulan yang disebut sebagai "Fight Club" di mana setiap orang harus berkelahi satu lawan satu secara jantan (bila sang lawan mengatakan stop, maka pihak yang menang harus menghentikan serangannya..)

Lama kelamaan "Fight Club" berkembang menjadi semacam perkumpulan milisi semi-militer yang membenci sistem yang ada serta para kapitalis/eksekutif perusahaan yang menurut mereka harus dihancurkan dari dunia ini. Mereka membuat berbagai kerusuhan dan kerusakan (yang dinamakan sebagai "Project Mayhem"). Saat seorang anggota "Fight Club" akhirnya terbunuh oleh aparat keamanan, Dia ingin proyek ini dihentikan tetapi ternyata Tyler memberitahukan kepadanya bahwa dirinya bukanlah sosok yang benar-benar ada. Tyler Durden sebenarnya adalah imajinasi dari Dia, sehingga sebenarnya Dia dan Tyler sebenarnya adalah satu raga, satu jiwa.

Untuk akhir ceritanya mungkin lebih baik tidak saya ceritakan di sini karena akan menjadi spoiler atau akan merusak orang-orang yang belum pernah menontonnya. Di film itu saya menemukan berbagai "kemarahan terpendam" yang sebenarnya menurut saya terdapat dalam diri banyak orang, tetapi sang pembuat film itu berhasil menggubahnya menjadi sebuah rangkaian cerita layar kaca yang terkesan tidak picisan.

"Fight Club" juga menggambarkan bahayanya fenomena alienasi yang kerap ditemui di banyak masyarakat modern sehingga membuat banyak manusia yang tidak bisa lagi merasakan sensitivitas hubungan antarmanusia karena mereka telah terkonsumsi oleh beban pekerjaan yang membuat mereka lelah dan mudah untuk mendehumanisasi orang lainnya.

Tentu saja aku sangat tidak setuju dengan "Project Mayhem" yang terkesan nihilis dan bersikap destruktif tanpa menawarkan adanya solusi yang komprehensif. Namun, bagi diriku pribadi, aku bisa merasakan bahwa "Fight Club" berhasil menyuarakan secara utuh rasa depresi yang melanda diriku pada saat film itu dikeluarkan (tahun 1999, pasca-krisis moneter, berpindah dari SMA ke kuliah, meningkatnya gerakan konservatif yang dimana aku terlibat di dalamnya, it's really one of my dark ages..)

Berikut adalah sejumlah kutipan yang aku suka dari "Fight Club":

  • Without pain, without sacrifice, we would have nothing.
  • It's only after we've lost everything that we're free to do anything.
  • You are not your job. You're not how much money you have in the bank. You're not the car you drive. You're not the contents of your wallet.
  • The things you own end up owning you.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar