Photobucket

Senin, 10 Oktober 2011

SLUMDOG MILLIONAIRE DAN "BERDARAH-DARAH" DI JALAN OPTIMISME

"Money and women. The reasons for make most mistakes in life. Looks like you've mixed up both."

Pernyataan lugas tersebut dikemukakan oleh Inspektur polisi yang menginterogasi Jamal Malik, peserta "Who Wants to Be Millionaire" India, dalam film terbaik Academy Award 2008, "Slumdog Millionaire". Jamal, yang merupakan seorang pesuruh di kantor operator telepon berhasil mengikuti kuis tersebut dan berhasil menjawab seluruh pertanyaan dengan tepat.

Akibatnya, Jamal dicurigai melakukan kecurangan sehingga ditangkap aparat dan diperiksa di kantor polisi. Saat pemeriksaan tersebut terungkaplah berbagai kisah Jamal dari masa kecilnya ketika dirinya terlunta-lunta bersama sahabatnya Salim dan Latika, setelah ibunya terbunuh dalam kekerasan sektarian yang terjadi di India. Lika-liku pedihnya kehidupan yang dialaminya ternyata tidak membuatnya menyerah apalagi melupakan cinta sejatinya kepada Latika.

Sempat terpisah dengan Latika, Jamal dan Salim terdampar di Masjid Taj Mahal di Agra. Mereka bertahan hidup dengan melakukan tindak kriminalitas seperti menipu dan mencuri. Keduanya kemudian kembali untuk mencari Latika yang ternyata sedang dilatih menjadi pelacur cilik. Jamal dan Salim menyelamatkan Latika, tetapi Salim juga membunuh bos Latika yang dulu juga merekrut mereka bertiga untuk dipekerjakan sebagai pengemis cilik.

Nasib ketiganya berpisah. Salim memaksa Latika pergi dengannya dan hidup di dunia hitam. Sedangkan Jamal meniti beragam karir di pekerjaan seadanya hingga akhirnya dia dapat mengikuti kuis "Who Wants to Be Millionaire". Akhir dari film ini, Latika berhasil melarikan diri dengan bantuan Salim untuk bertemu dengan Jamal yang telah memenangkan kuis tersebut. Memang terkesan Hollywood, tetapi berbagai keindahan yang terungkap dalam gambar dan kata-kata di berbagai tempat dalam film itu membuat kelemahan tersebut tampak tersapu begitu saja..

Menonton "Slumdog Millionaire" memperlihatkan bahwa banyak orang dalam keadaan "berdarah-darah" dalam meniti jalan optimisme. Tentu, kita mengetahui bahwa kita harus selalu optimistis dalam menghadapi kehidupan. Tetapi, bukankah berbagai ketidakadilan dan kebusukan di sekitar hidup kita membuat kita seakan-akan bersikap aneh bila mempertahankan optimisme kita tanpa tedeng aling-aling?

Aku tahu bahwa terdapat banyak orang yang dapat memegang teguh optimisme-nya dan bahkan menggunakannya untuk mencapai kesuksesan (meski dia mengetahui berbagai kejahatan yang terjadi disekelilingnya, bahkan mungkin menunggangi optimisme dalam melakukan tindak kejahatan tersebut).

Sejujurnya, meniti jalan optimisme menurut aku (yang kerap dikenal oleh beberapa orang dekat sebagai sangat sensitif) adalah benar-benar "berdarah-darah" sehingga seringkali rasa frustasi dan depresi hinggap begitu saja. Aku mengaku bahwa aku bukanlah orang kuat yang dapat dengan teguh tetap memegang optimismenya. Aku terkadang ingin sekali lari ke dalam alam mimpi dan tidak terbangun kembali.

Aku sering bertanya kepada diriku, "apakah aku orang yang jahat?" Apakah dengan tidak selalu percaya kepada optimisme berarti membunuh harapan yang aku bangun, membunuh impian yang telah terbangun, membunuh jiwa kita sendiri. Apakah aku orang yang jahat karena telah membunuh jiwaku sendiri dengan tidak selalu percaya dengan optimisme?

Setiap orang pasti pernah berada dalam keadaan titik nadir. Mungkin inilah masa-masa yang sedang terjadi dalam diriku, apalagi setelah menonton "Slumdog Millionaire" yang menurut aku memperlihatkan sejumlah realisme kekejaman dunia (meski terjadi di India tetapi tidak tertutup kemungkinan untuk terjadi pula di tempat lain seperti di Indonesia).

Entah kenapa, setelah menonton "Slumdog Millionaire" membuatku teringat puisi "Doa" karya Chairil Anwar yang cuplikannya yang terkenal adalah "Tuhanku/di pintuMu aku mengetuk/aku tidak bisa berpaling".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar