Bila ada ungkapan "anjing adalah teman setia bagi manusia", maka aku juga ingin menambahkan "gitar adalah teman setia bagi manusia". Gitar yang telah bertahun-tahun setia menemaniku di dalam kamar memang telah menjadi seorang sahabat bagi diriku.. Dia menemaniku saat diriku yang (seringkali) galau dalam menghadapi berbagai misteri kehidupan. Berbagai peristiwa yang membuat hatiku kesal, marah membara, atau sedih dan pilu, dapat aku lampiaskan dengan gitarku.
Aku membeli gitar ini setelah lulus kuliah dan mulai bekerja di salah satu hipermarket di ibukota ini. Kemungkinan aku membeli Gitar Yamaha Klasik FG-450 ini pada tahun 2005. Sebelumnya, aku kerap belajar "gejreng-gejreng" di sekolah karena pada saat aku masih menjadi siswa SMA yang manis, banyak teman-temanku yang pakar bermain gitar yang seringkali membawa gitar ke sekolah.
Untung saja pihak sekolah tidak berkenan, asalkan gitar tersebut tidak dimainkan saat guru sedang mengajar (ya iyalah... hehehe) Melihat ke masa SMA, aku kerap kali merasa kagum dengan mereka yang bisa memainkan lantunan lagu indah dari sebuah gitar kopong. Bahkan, pada saat ini aku merasa kemampuanku bermain gitar masih sangat cetek dibanding teman-teman SMA-ku dulu.
Btw, ternyata tidak semua temanku yang jago main gitar ternyata merintis karir di dunia musik. Saat ini ada yang bekerja sebagai Manajer Procurement sebuah perusahaan ekspedisi, ada yang bekerja di Telkom Lampung, dan bahkan ada pula yang bekerja di salah satu Bank Syariah. Mungkin dunia musik memang tidak berkeinginan untuk memanggil mereka.
Sampai saat ini, aku masih sering bermain gitar, terutama pada malam hari setelah menghadapi dunia kerja dan lalu lintas Jakarta yang semakin lama semakin parah aza.. Bermain gitar seakan-akan seperti sedang mencurahkan hati dan jiwa kita yang sedang galau kepada dunia. Dengan pelampiasan seperti itu, aku seperti mendapat tempat curhat melalui sahabatku yang setia, Sang Gitar.
Terkadang aku bermain dengan menggunakan kursi dan melihat ke dinding sambil berkhayal seakan-akan aku sedang bermain untuk ribuan penonton di sebuah arena pertunjukkan yang megah (mungkin di stadion sepakbola, hmmm...) Setelah selesai memainkan satu lagi, terkadang tepuk tangan imajinasi kerap terngiang di benak. Tapi sesekali juga ada ketukan nyata di pintu dari kakakku yang lalu berkata, "Woi, berisik udah malam.." (hihihi).
Aku mendapat ilham untuk menulis tentang gitar setelah membaca puisi "Gitar Pengamen" yang terdapat di harian Kompas pada hari Minggu (9/10) ini. Di bawah ini aku kutipkan tujuh alinea pertama dari puisi yang ditulis oleh A Muttaqin ini.
GITAR PENGAMEN
A Muttaqin
Pengamen itu tentu tak tahu, si gitar benar-benar mencintainya.
Sebagai gitar, ia hanya bisa bernyanyi menuruti jemari pengamen yang naik turun sekenanya. Kendati si gitar ingin benar mengudar isi hatinya, cintanya, rindunya.
Hati yang telah dikosongkan dari benci dan prasangka. Cinta yang telah diserahkan sepenuh tangan dan angan pengamen muda. Juga rindu yang terpantul dari senar-senar rahasia.
Tapi apalah daya. Sang pengamen tercinta yang ke sana ke mari menggotong si gitar dengan kelewat bangga hanya bisa memainkan lagu remaja, lagu latah yang terus dimainkan dengan terbata-bata.
Hingga sepanjang hayat si gitar terus berjuang menyumbingkan bundar bibirnya. Mengerang dengan suara sumbang. Seperti upaya melapangkan sesak yang menanjak ke dada.
Si gitar mengalah.
Seperti pacar yang sabar si gitar hanya tengadah. Sambil diam-diam berdoa, semoga sang pengamen tetap bahagia. Tetap betah. Dan tak perlu terganggu angin kasar yang kerap menampar ke senar-senar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar