KTT ASEAN - SENGKETA LAUT CHINA SELATAN DAN SUMBER PERIKANAN Oleh Muhammad Razi Rahman
Nusa Dua, 13/11 (ANTARA) - Salah satu masalah mendesak saat ini yang diharapkan dapat dicarikan jalan keluarnya untuk penyelesaiannya di KTT ke-19 ASEAN di Nusa Dua, Bali, 17 - 19 November 2011, adalah terkait sengketa Laut China Selatan.
Sejumlah ketegangan dan sengketa antarnegara terjadi di kawasan Laut China Selatan. Sengketa itu melibatkan China dan empat negara ASEAN, yaitu Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Konflik saling klaim dalam kasus sengketa Laut China Selatan itu diketahui juga dapat berdampak besar tidak hanya kepada sektor keamanan dan perdamaian dunia, tetapi juga kepada semakin menurunnya sumber daya perikanan di kawasan itu. Karena itu, Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Suhana mengatakan, KTT ASEAN di Nusa Dua Bali seharusnya mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di kawasan Laut China Selatan.
"ASEAN seharusnya bisa menengahi konflik antarnegara di Laut China Selatan," kata Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Suhana, ketika dihubungi ANTARA dari Nusa Dua, Minggu.
Menurut Suhana, kepentingan untuk segera menyelesaikan konflik di Laut China Selatan sangat mendesak terutama karena terkait dengan maraknya praktik "illegal fishing" di kawasan perairan yang kaya akan sumber daya perikanan yang melimpah itu.
Ia mengakui, meski Indonesia tidak menjadi pihak yang secara langsung berkonflik, permasalahan tersebut juga bisa berdampak kepada perikanan Indonesia.
Ia mencontohkan, bila konflik sengketa terus terjadi di kawasan Laut China Selatan, maka dikhawatirkan akan terjadinya pengawasan yang longgar di dalam kawasan tersebut.
Hal itu dinilai akan mendorong makin banyaknya pelaku "illegal fishing" dari sejumlah negara Asia Tenggara yang masuk dari Laut China Selatan menuju kawasan perairan Indonesia.
"Banyak pelaku 'illegal fishing' di lautan Indonesia berasal dari negara-negara ASEAN," katanya.
Selain itu, Suhana juga mengemukakan, konflik perbatasan di Laut China Selatan akan mengganggu pemetaan pengelolaan di kawasan perairan itu.
Ganggu pengelolaan
Senada dengan Suhana, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) M Riza Damanik mengatakan, sengketa di Laut China Selatan yang melibatkan China dan beberapa negara ASEAN dinilai akan mengganggu pengelolaan sumber daya perikanan yang terdapat di kawasan perairan tersebut.
"Konflik di Laut China Selatan yang tidak berakhir akan sangat mengganggu potensi sumber daya perikanan di daerah itu dan sekitarnya," kata Riza Damanik.
Menurut Riza, bila penyelesaian konflik Laut China Selatan semakin lama semakin terganggu maka akan semakin memperburuk sumber daya perikanan yang menjadi salah satu sumber bahan makanan sehingga dicemaskan juga akan mengakibatkan kerawanan pangan dalam tingkatan tertentu di Asia Tenggara.
Ia mencontohkan, sumber daya perikanan yang semakin diperburuk akibat konflik di Laut China Selatan antara lain adalah semakin maraknya praktik "illegal fishing" seperti dengan menggunakan alat tangkap "trawl" atau pukat harimau yang kerap dilarang karena dapat merusak lingkungan perairan.
"Konflik di sana harus segera diantisipasi karena semakin banyak dampak merusak," katanya.
Karena itu , Sekjen Kiara juga berpendapat bahwa eksploitasi atau praktik penangkapan ikan di kawasan Laut China Selatan juga dikhawatirkan akan semakin brutal akibat dari konflik tersebut.
Ia juga memaparkan, berdasarkan data yang dihimpun Kiara, kapal yang kerap mencuri ikan di kawasan perairan Indonesia antara lain berasal dari China dan sebanyak enam negara ASEAN.
Keenam negara tersebut adalah Vietnam, Malaysia, Thailand, Filipina, Kamboja, dan Myanmar.
Relatif baru
Sementara itu, aktivis Human Rights Working Group (HRWG) Akbar Tanjung mengatakan, mekanisme yang dimiliki ASEAN untuk mengatasi tindak pidana "illegal fishing" relatif masih baru dan belum terkoordinasi dengan baik meski pencurian ikan kerap terjadi di kawasan itu.
"Perkembangan di ASEAN terkait dalam membuat mekanisme persoalan maritim, termasuk pencurian ikan, masih merupakan hal yang baru," kata Akbar.
Ia menegaskan, Indonesia yang kini menjabat sebagai Ketua ASEAN harus bisa memanfaatkan momentum ini dengan membahas masalah pencurian ikan yang banyak merugikan Indonesia.
Pada Minggu ini digelar kelompok kerja dari pertemuan pejabat senior (Senior Officials' Meeting/SOM) ASEAN dijadwalkan membahas "Code of Conduct" (COC) kerja sama antarnegara di sekitar Laut China Selatan.
Pertemuan para pejabat senior ASEAN adalah forum bagi para pejabat setingkat direktur jenderal kerja sama ASEAN.
Para pejabat senior ASEAN itu bertemu untuk pertama kali di Nusa Dua setelah mereka menyepakati panduan penerapan "Declaration of Conduct" (DOC) pada Juli 2011 terkait sengketa di Laut China Selatan.
Kesepakatan tentang panduan pelaksanaan DOC) itu dicapai setelah perundingan selama sembilan tahun antara negara-negara anggota ASEAN dan China, kata panitia.
Selain itu, kesepakatan tersebut menandai niat dari semua pihak untuk mengurangi ketegangan akibat berbagai klaim terhadap pulau-pulau yang kaya akan energi di kawasan tersebut.
Setelah kesepakatan itu, semua pihak termasuk China akan melakukan perundingan lagi tentang COC yang berisi hal-hal spesifik dan teknis tentang kerja sama di sekitar Laut China Selatan.
Pertemuan antar-ejabat senior ASEAN adalah kegiatan awal menuju KTT ke-19 ASEAN --yang akan dihadiri para kepala negara atau kepala pemerintahan Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam.
Kepala negara atau kepala pemerintahan China, Korea Selatan, dan Jepang juga akan hadir dalam KTT ASEAN+3 dan KTT Asia Timur, sedangkan kepala negara/pemerintahan dari Amerika Serikat, Rusia, Australia, Selandia Baru, India hanya dijadwalkan hadir dalam KTT Asia Timur, katanya.
Pelaksanaan ketiga KTT itu dipusatkan di Nusa Dua, Bali, dan akan berakhir pada 19 November 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar