Ibnu Sina (980-1037), sebagaimana yang pernah ditulis dalam buku saya (“50 Ilmuwan Muslim Populer”, diterbitkan QultumMedia, 2005), adalah “pangeran dari para ilmuwan muslim,” dan menurut saya, Ibnu Sina adalah ilmuwan Muslim yang paling berpengaruh pada dunia pemikiran keilmuan yang pernah lahir dari umat manusia.
Buku saya lebih berfokus pada pencapaian Ibnu Sina di bidang kedokteran, antara lain dengan menyebutkan salah satu karya cemerlangnya, “Qanun fil Tibb” (Peraturan tentang Pengobatan), yang menjadi buku teks utama ilmu kedokteran Barat selama enam abad hingga sekitar abad ke-17 M. Karya Ibnu Sina itu memaparkan berbagai penjelasan otentik mengenai beragam penyakit seperti radang paru-paru dan daftar 760 macam obat disertai cara penggunaannya yang efektif. Ibnu Sina lebih dikenal di dunia Latin-Eropa dengan sebutan Avicenna.
Kelahiran ilmuwan besar itu di desa Afsyina, dekat kota Bukhara (sekarang wilayah Uzbekistan), merupakan anugerah tidak hanya bagi dunia Muslim, tetapi juga bagian dunia lainnya. Ketekunannya untuk mempelajari beragam cara pengobatan membuat dirinya pada usia 16 tahun bisa membuka tempat praktik kedokteran sendiri. Tak puas dengan kedokteran, pada masa remajanya, ia juga dikenal menguasai bidang-bidang yang menjadi dasar dari ilmu filsafat yang kelak akan dikembangkan olehnya, seperti logika dan metafisikanya Al Farabi.
Ternyata terbukti, sebagaimana dipaparkan dalam “The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization” karya Marsall G.S. Hodgson (1974), Al Farabi (870-950) telah mencoba menyelaraskan antara wahyu dalam Islam dan hukum Syariah dalam terma rasionalistik, tetapi pandangannya masih relatif independen dari pemikiran Islam sebagai daya guna intelektual. Namun, pemikiran metafisika Ibnu Sina adalah kulminasi dari penyatuan Filsafat yang lebih dekat dengan tradisi Islam. Dengan mengakui pentingnya Syariah sebagaimana telah dikembangkan, ia bertindak lebih jauh dari Al Farabi dalam menjustifikasi tidak hanya prinsip umum seorang nabi-legislator tetapi secara khusus ayat-ayat yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Ia mengemukakan secara mendalam kegunaan sosial berbagai aturan Syariah bagi massa dan bahkan bagi kaum elite pemimpin. Misalnya, Ibnu Sina juga memaparkan manfaat ibadah salat sebagai bentuk pendisiplinan diri bahkan bagi para filsuf.
Ibnu Sina juga menuturkan tentang psikologi pewahyuan itu sendiri. Al Farabi telah menyerahkan bidang kewahyuan kepada bagian otak imajinatif, yang merupakan bagian otak yang tidak terlalu dipikirkan oleh para filsuf rasionalistik dibandingkan bagian otak rasional. Sedangkan Ibnu Sina mempersembahkan analisis, yaitu seorang nabi merupakan sosok yang tidak hanya seorang “filsuf” ideal, tetapi juga sosok yang memiliki akses yang lebih besar kepada Kebenaran dibandingkan filsuf lainnya yang hanya berkutat dalam berbagai diskusi rasional. Kesimpulan itu didapatkannya antara lain dengan mempertimbangkan pengalaman spiritual para sufi, yang menurutnya dapat memperoleh “pencerahan” yang melampaui proposisi awam hingga ke titik yang diakui sebagai sudut pandang filsafat yang tidak menggunakan kategori silogisme dan rasional. Intuisi itu dapat dipindahkan ke dalam bentuk gambar oleh bagian otak imajinatif.
Ibnu Sina juga menegaskan bahwa potensi intelek yang ada pada setiap individu adalah bagian individual yang unik, karena bersifat nonmaterial dan oleh karenanya tidak bisa dihancurkan, bagaimanapun pikiran itu diaktualisasikan. Prinsip tersebut membuat individu dapat dibangkitkan setelah kematiannya dan juga memasukkan sistem Aristotelian kepada doktrin Islam (dan Platonik) tentang alam akhirat dengan cara menspiritualkannya. Hal itu juga membantu para sufi spekulatif untuk lebih memaknai pengalaman mereka sendiri yang tetap menggunakan keunikan dalam diri mereka tetapi entah bagaimana melampaui batasan ruang dan waktu.
Pencapaian tertinggi Ibnu Sina adalah membuat sistem yang merupakan sintesis murni antara dua tradisi berorientasi kehidupan, yaitu tradisi filsafat dan tradisi keagamaan. Ibnu Sina terlibat dalam keduanya. Ibnu Sina melebihi Al Farabi dalam mengenali tradisi lembaga keagamaan dalam dua cara: dengan membuat peran yang lebih bermakna dari wahyu Islam secara khusus, dan dengan mengizinkan lebih banyak ruang filasafat dalam makna hubungan tertinggi antara orang dan kosmos yang mewarnai tradisi keagamaan secara umum—termasuk aspek keagamaan dari tradisi filsafat. Karenanya, filsafat Ibnu Sina, tidak seperti Al Farabi, menjadi titik pijakan awal dari aliran spekulasi di mana nilai-nilai yang terkait dengan pengalaman mistis sufi menjadi intinya.
Keunggulan pemikiran Ibnu Sina memang tidak hanya di bidang filsafat, karena di berbagai bidang lainnya ia juga menunjukkan keandalannya, antara lain di bidang ilmu geometri, astronomi, teologi, filologi, dan seni. Jika saya harus menulis ulang kembali daftar urutan dalam buku saya pada saat ini, saya tetap akan menempatkan Ibnu Sina dalam urutan teratas. Dan cuplikan pemikiran filsafat Ibnu Sina dalam tulisan ini, bagi saya, sedikit banyak merupakan sebuah Ode untuk pemikir agung Muslim tersebut.
Sabtu, 3 Januari 2008
19.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar